Macan Kurung adalah sebuah karya seni ukir khas Jepara yang berkembang sejak zaman RA Kartini dan mengalami kejayaan selama kurang lebih satu abad sesudahnya. Macan kurung muncul di tengah-tengah sistem pemerintahan kolonial dan adat-istiadat budaya feodal. Diduga karya seni ini sebagai ekspresi simbolis perlawanan para perajin ukir atas tekanan hidup yang dirasakan saat itu.
Karya seni itu berbentuk seekor macan yang hidup di dalam sebuah kurungan. Di dalam kurungan terdapat pula bola yang dapat menggelinding dan rantai pengikat macan. Bagian atas kurungan sering diberi berbagai hiasan berbentuk binatang, seperti burung, naga, ular, dan sebagainya.
Karya itu mempunyai keunikan tersendiri dari teknik pembuatannya. Ukiran ini dibuat pada segelondong kayu utuh tanpa dibelah dan tanpa sambungan. Karena keunikan-keunikan inilah macan kurung pernah menjadi primadona pada masa sebelum booming industri mebel ukir Jepara.
Disebut macan kurung Belakanggunung karena karya seni ini lahir dari tangan terampil seniman ukir masyarakat Dukuh Belakanggunung Desa Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara.
Belakanggunung merupakan salah satu wilayah yang sangat bersejarah dan paling fenomenal dalam ranah pertumbuhan kerajinan ukir kayu di kabupaten itu. Sebuah mitos keajaiban pahat pusaka dan sejarah perkembangan ukiran Jepara tidak lepas dari dukuh tersebut.
Kegiatan mengukir itu terus tumbuh dan berkembang sampai sekarang sehingga menjadi pilar utama terciptanya kesejahteraan masyarakat setempat. Seni ukir macan kurung Belakanggunung juga menjadi salah satu embrio bagi tumbuhnya sentra seni ukir patung Mulyoharjo yang juga menjadi primadona Kabupaten Jepara.
Namun ketika Belakanggunung telah mengalami kejayaan sebagai sentra seni ukir patung, justru keberadaan macan kurung dewasa ini makin tergeser oleh produk-produk baru. Ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami adalah ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkannya.
Tidak diproduksinya macan kurung oleh perajin sekarang bukan karena kerumitan atau kesulitan teknis pembuatannya. Keahlian serta kreativitas perajin muda sekarang dalam membuat ukiran bahkan sering kali lebih hebat dari pendahulunya. Alasan pasarlah yang menjadi faktor utama. Perajin tidak berani membuat stok macan kurung karena rendahnya minat pembeli asing dan daya beli konsumen lokal.
Hak Cipta Dewasa ini macan kurung sudah tidak lagi menjadi primadona, namun geliat pengusungan macan kurung masih sangat terasa. Geliat tersebut nampak dalam berbagai momentum terutama yang dilakuan oleh para seniman, Pemerintah Kabupaten Jepara, media masa, dan publik Jepara.
Sesekali masih ada perajin yang membuat macan kurung walaupun tidak jelas apakah ukiran itu akan terjual atau tidak. Motivasinya bermacam-macam: ada yang mencoba menarik perhatian barang kali ada yang terpikat membeli; sekadar mengoleksi untuk apresiasi bagi pengunjung; ada pula perajin yang bernostalgia dengan kesibukan membuat karya seni itu seperti pada masa kejayaannya dulu.
Strategi kreatif juga masih terus dilakukan perajin. Salah satunya dengan cara mengemas macan kurung menjadi suvenir replika yang lebih simpel dari segi ukuran, bentuk, maupun teknik pembuatannya. Perajin menyederhanakan teknik pembuatan untuk keperluan tertentu, tanpa berbenturan dengan nilai-nilai yang harus dilestarikan. Cara ini diharapkan dapat memperkenalkan kembali macan kurung sebagai ukiran khas yang menginspirasi.
Komunitas seni peran termasuk bagian yang terinspirasi oleh macan kurung. Sebuah kelompok teater bekerja sama dengan Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya sempat mengusung macan kurung sebagai lakon dalam sebuah pementasan kolosal di Jepara,Semarang, dan Jakarta.
Selain itu Pemerintah Kabupaten Jepara tiada henti berupaya melekatkan di hati masyarakat melalui berbagai kegiatan. Seperti yang dilakukan dalam beberapa kali pameran di dalam dan di luar negeri. Pemerintah mencoba menampilkan ukiran macan kurung sekaligus mendemonstrasikan proses pembuatannya.
Upaya hukum dilakukan pada tahun 2008 dengan mendaftarkan bersama dengan puluhan desain ukiran khas Jepara lainnya kepada Dirjen HKI untuk mendapatkan perlindungan hukum atas aset budaya Jepara. Dengan adanya perlindungan hukum terhadap macan kurung maka diharapkan tidak akan terjadi lagi klaim hak cipta dari pihak asing.
Selain itu Pemerintah Kabupaten Jepara tiada henti berupaya melekatkan di hati masyarakat melalui berbagai kegiatan. Seperti yang dilakukan dalam beberapa kali pameran di dalam dan di luar negeri. Pemerintah mencoba menampilkan ukiran macan kurung sekaligus mendemonstrasikan proses pembuatannya.
Upaya hukum dilakukan pada tahun 2008 dengan mendaftarkan bersama dengan puluhan desain ukiran khas Jepara lainnya kepada Dirjen HKI untuk mendapatkan perlindungan hukum atas aset budaya Jepara. Dengan adanya perlindungan hukum terhadap macan kurung maka diharapkan tidak akan terjadi lagi klaim hak cipta dari pihak asing.
Dibalik keindahanya,sayang sekali sekarang sedikit yang mau belajar seni ukir macan kurung ini.Berharap Ada Generasi Baru yang Berminat Buat Patung,patung Macan Kurung asli buatan Jepara sampai saat ini masih banyak diminati kalangan masyarakat. Baik orang Jepara maupun luar Jepara. Bahkan macan kurung tersebut menjadi kebanggan Pemkab Jepara dengan dijadikan simbol batas wilayah antara Kabupaten Kudus dan Jepara. Atau hanya dijadikan souvenir setiap tamu kenegaraan atau pemerintah daerah yang berkunjung ke Jepara. Namun tahukah kita, bahwa pembuat Macan Kurung saat ini hanya tinggal dua orang?
--------------------------------------
Ketika Radar Kudus berkunjung ke Desa Mulyoharjo, Kecamatan Jepara, tampak sisi kanan dan kiri jalan masuk desa banyak pengrajin patung. Mulai dari patung yang berukuran kecil sampai besar.
Ketika kita masuk ke desa tersebut, hanya rasa kagum dan takjub yang akan kita rasakan. Pasalnya, mungkin batang kayu yang ada di sekitar kita yang tidak berguna, namun di desa tersebut bisa saja jadi nilai ekonomi tinggi.
Namun, hal yang mengagetkan adalah patung Macan Kurung yang berasal dari Desa Mulyoharjo sudah tidak tampak. Yang tampak hanya patung dewa-dewi umat Tionghoa, patung salib, dan patung yang banyak diminati masyarakat luas lainnya.
Kalaupun ada, hanya beberapa saja patung dengan bentuk Macan Kurung di sana. Itupun tidak pahatan satu pohon. Karena macan patung yang asli berasal dari batang satu pohon tanpa ada tambahan. Itulah khasnya!.
Jika perjalanan dari awal gerbang Desa Mulyoharjo kita teruskan kira-kira satu kilometer, maka kita akan menemukan sosok yang merupakan pribadi yang dekat dengan Macan Kurung. Sosoknya sudah renta, namun tetap bersemangat.
Dia adalah kakek Wardi. Dan Wardi ini adalah generasi ketiga pemahat patung Macan Kurung. Selain dirinya, pemahat patung Macan Kurung yang tersisa adalah menantunya.
''Di Jepara ini yang hanya bisa buat Macan Kurung asli (satu pohon penuh tanpa ada tempelan pohon lainnya, Red) adalah saya dan menantu saya. Jika ada Macan Kurung oleh orang lain, biasanya adalah hasil rangkaian beberapa kayu, bukan satu kayu,'' bebernya.
Namun saat ini, Wardi sudah sekitar satu tahun tidak membuat patung Macan Kurung. Hal tersebut diakibatkan usia dan tenaga yang dimiliki Wardi tidak kuat sebagaimana saat dirinya waktu muda.
''Saya sudah sakit-sakitan. Keinginan saya sih, tetap membuat patung Macan Kurung. Namun apa daya tidak kuat lagi,'' jelasnya.
Dirnya menceritakan, bahwa Macan Kurung diciptakan kakeknya yang bernama Singowiryo. Kemudian diwariskan pada bapaknya, Singosangiran. ''Saya mulai membuat Macan Kurung sekitar 1942. Saya berlatih dari bapak saya,'' ujarnya.
Macan Kurung, lanjut Wardi, mempunyai niali filosofi sendiri. Macan sebagai simbol orang yang mempunyai sifat jahat seperti keinginan mencuri. Oleh karenannya sifat tersebut kemudian diusahakan untuk dikurung.
Kesibukan Wardi saat ini diisi dengan menunggu rumah. Terakhir kali Wardi mendapat pesanan dari seorang pengusaha Jogjakarta. Pengusaha tersebut meminta dua patung Macan Kurung. Namun, Wardi hanya membuat satu patung.
''Saya sudah tidak kuat lagi. Terpaksa pengusaha tersebut hanya saya buatkan satu patung,'' paparnya sambil mengharapkan pematung Macan Kurung bisa bertambah terus sehingga mampu melestarikan tradisi khas Jepara itu.
--------------------------------------
Ketika Radar Kudus berkunjung ke Desa Mulyoharjo, Kecamatan Jepara, tampak sisi kanan dan kiri jalan masuk desa banyak pengrajin patung. Mulai dari patung yang berukuran kecil sampai besar.
Ketika kita masuk ke desa tersebut, hanya rasa kagum dan takjub yang akan kita rasakan. Pasalnya, mungkin batang kayu yang ada di sekitar kita yang tidak berguna, namun di desa tersebut bisa saja jadi nilai ekonomi tinggi.
Namun, hal yang mengagetkan adalah patung Macan Kurung yang berasal dari Desa Mulyoharjo sudah tidak tampak. Yang tampak hanya patung dewa-dewi umat Tionghoa, patung salib, dan patung yang banyak diminati masyarakat luas lainnya.
Kalaupun ada, hanya beberapa saja patung dengan bentuk Macan Kurung di sana. Itupun tidak pahatan satu pohon. Karena macan patung yang asli berasal dari batang satu pohon tanpa ada tambahan. Itulah khasnya!.
Jika perjalanan dari awal gerbang Desa Mulyoharjo kita teruskan kira-kira satu kilometer, maka kita akan menemukan sosok yang merupakan pribadi yang dekat dengan Macan Kurung. Sosoknya sudah renta, namun tetap bersemangat.
Dia adalah kakek Wardi. Dan Wardi ini adalah generasi ketiga pemahat patung Macan Kurung. Selain dirinya, pemahat patung Macan Kurung yang tersisa adalah menantunya.
''Di Jepara ini yang hanya bisa buat Macan Kurung asli (satu pohon penuh tanpa ada tempelan pohon lainnya, Red) adalah saya dan menantu saya. Jika ada Macan Kurung oleh orang lain, biasanya adalah hasil rangkaian beberapa kayu, bukan satu kayu,'' bebernya.
Namun saat ini, Wardi sudah sekitar satu tahun tidak membuat patung Macan Kurung. Hal tersebut diakibatkan usia dan tenaga yang dimiliki Wardi tidak kuat sebagaimana saat dirinya waktu muda.
''Saya sudah sakit-sakitan. Keinginan saya sih, tetap membuat patung Macan Kurung. Namun apa daya tidak kuat lagi,'' jelasnya.
Dirnya menceritakan, bahwa Macan Kurung diciptakan kakeknya yang bernama Singowiryo. Kemudian diwariskan pada bapaknya, Singosangiran. ''Saya mulai membuat Macan Kurung sekitar 1942. Saya berlatih dari bapak saya,'' ujarnya.
Macan Kurung, lanjut Wardi, mempunyai niali filosofi sendiri. Macan sebagai simbol orang yang mempunyai sifat jahat seperti keinginan mencuri. Oleh karenannya sifat tersebut kemudian diusahakan untuk dikurung.
Kesibukan Wardi saat ini diisi dengan menunggu rumah. Terakhir kali Wardi mendapat pesanan dari seorang pengusaha Jogjakarta. Pengusaha tersebut meminta dua patung Macan Kurung. Namun, Wardi hanya membuat satu patung.
''Saya sudah tidak kuat lagi. Terpaksa pengusaha tersebut hanya saya buatkan satu patung,'' paparnya sambil mengharapkan pematung Macan Kurung bisa bertambah terus sehingga mampu melestarikan tradisi khas Jepara itu.
Sumber: Jasaukirjepara dan Jawa Pos